Selasa, 13 April 2010

Cerita Budi Pekerti: Kemana Burung-Burung Nuri itu?

Cerita Budi Pekerti
Tema: Lingkungan
Ke Mana Burung-Burung Nuri itu?
By: Gerard Gaga, S.Ag, S.Pd
Depag Kab Kupang, Guru Agama Katolik pada SMA N 1 Kupang Timur

“Watu Jara” bagian kecil sebuah kampung yang terletak persis di punggung sebuah bukit. Tujuh puluh tahun merdeka belumlah cukup untuk membuka isolasi menuju kampung itu. Belum ada akses jalan raya maupun listrik ke sana. Akan tetapi, kerasnya alam dan akses ke desa itu rasanya berbanding terbalik dengan keramahan dan kerukunan para penduduk. Mereka menampakkan nilai-nilai budaya dengan baik: gotong royong, solidaritas, kesenian, tata krama dan sebagainya. Canda tawa anak-anak yang berlarian di waktu pagi, gelak tawa pemuda-pemudi yang saling bercerita di malam-malam purnama rasanya seiring dengan nyanyian burung-burung nuri yang hampir setiap saat mencari perteduhan di pepohonan yang mengapit kiri-kanan kampung itu. Begitu harmoni dan menakjubkan.

Entah sejak kapan burung-burung nuri itu mendapatkan pepohonan itu sebagai habitatnya tak ada yang tahu pasti. Tak ada seorang pun dari masyarakat di kampung itu yang mengusiknya sampai ketika seorang Pastor berkebangsaan Spanyol datang ke tempat itu. Pastor itu selalu mempersenjatai dirinya dengan senapan angin dan sejumlah peluru setiap kali ia mengadakan kunjungan pastoral ke kampung itu, bukan untuk membela diri dari penjahat tetapi untuk berburu burung-burung itu bila ada kesempatan. Jadi, sang pastor tidak kesulitan mendapatkan lauk specialnya bila berkunjung ke sana, lauk kesayangannya. Kalau bukan burung nuri goreng, ia akan disuguhkan nuri bakar. Dan itu sudah delapan tahun berlangsung.

Delapan tahun lamanya sejak pastor itu ada, populasi burung-burung nuri itu makin berkurang. Penyebab sebenarnya bukan karena hanya menjadi buruan sang pastor, tetapi juga karena menjadi obyek buruan para lelaki penduduk kampung itu: bapak-bapak, para pemuda, remaja bahkan anak-anak yang kini telah memiliki senapan angin sendiri yang mereka beli dengan cara arisan.

Setahun setelah pastor itu mutasi ke lain paroki, telah ada puluhan senapan angin yang dimiliki oleh para warga. Para lelaki itu menembak apa saja yang mereka lihat: burung nuri, kakaktua, tekukur, perkutut, kutilang, elang, burung hantu, bahkan pipit; di pepohonan itu, bahkan di kebun dan hutan-hutan. Pokoknya apa saja, dan di mana saja; bahkan monyet, babi hutan, dan ular.

Tiga tahun lalu aku berlibur ke kampung itu. Kutemukan dua senjata api usang di sudut kamar tidur saudaraku, sementara di luar sana ku saksikan anak-anak paruh baya berkeliaran di bawah pepohonan itu dengan mata penuh awas menatap pucuk-pucuk dan dahan-dahannya.

Kuperhatikan ada apa di balik dedaunan itu? Apakah di sana ada seekor nuri atau kutilang? Ternyata, cuma mau membuntuti seekor bunglon yang sedang ngap-ngap mulutnya, barangkali sedang menertawakan dan mengejek mereka.




Kupang, 28 April 2009
Sambil menantikan putraku

Cerita Reflektif

Efek Hadiah
Telepon Genggam

By: Gerard Gaga, S.Ag, S.Pd
Guru SMA N 1 Kupang Timur

Dita, gadis manis tamatan SMA di sebuah kota. Dengan segudang impian akan masa depan yang cerah ia datang ke kota karang, diajak Sepupunya yang bekerja sebagai guru SMP karena tergerak hati untuk membiayai studi lanjut, mengingat orangtua Dita yang cuma petani kurang mampu. Tendi, saudaranya itu memintanya datang lebih awal, biar sambil menunggu tahun akademik baru tiba, ia bisa belajar beradaptasi dengan lingkungan dan situasi kota. Benar, pada saat-saat awal kedatangannya, hingar bingar kota menjadi interestnya, dan, dalam beberapa bulan saja Dita sudah mengetahui banyak hal tentang kota barunya itu, ia sudah memiliki banyak teman, dan tidak ketinggalan dalam informasi-informasi baru dan gaul.
Bermodalkan sikapnya yang luwes dengan sedikit cerewet, cekat dan cepat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan harian, dalam waktu singkat pula Dita mampu menarik hati Tendi dan istrinya. Di mata kedua orang ini, kejujuran dan kepolosan Dita tidak perlu disangsikan. Sebagai apresiasi atas sikap dan kecekatannya, Dita diberi hadiah sebuah telepon genggam, dengan maksud biar Dita merasa makin enjoy dengan keseharian di rumah.

Betapa gembiranya Dita memperoleh hadiah itu. Sejak itu ia tidak lagi harus meminjam telepon genggam teman-teman maupun tetangganya seperti sebelumnya. Ia pun makin gesit dan semangat melakukan pekerjaan-pekerjaan di rumah. Berikut, tips-tips berupa uang saku yang sesekali Sepupunya berikan, lebih banyak ia gunakan untuk membeli pulsa ketimbang untuk kebutuhan-kebutuhan anak gadis pada umumnya. Sampai-sampai, untuk membeli pembalut ia harus meminta lagi dari sepupunya yang lain.
Sekarang Dita punya banyak nomor teman-teman, lama dan baru. Ia bisa mengirim SMS kapan saja ia mau. Meskipun Tendi dan istrinya tahu bahwa komunikasi-komunikasi Dita melalui HPnya entah dengan dengan siapapun itu pastilah tidak produktif, namun demi menghormati privasinya mereka tidak menanyakan dengan siapa atau apa isi komunikasi-komunikasinya. Sebenarnya, hubungan yang dibangun keluarga ini dengan Dita sangatlah komunikatif. Mereka bisa bercerita dengan nada canda, jenaka, bisa berbasa-basi tentang teman-teman yang disukai, bahkan tentang pacar-pacar si Dita. Tetapi, untuk yang terakir ini, Dita tidak berterus terang. Keduanya pun tidak mencampuri lebih jauh, karena sangat percaya akan sosok Dita sebagai gadis yang sangat polos dan jujur. Lagi pula, menanyakan pacar saudara atau saudari merupakan hal yang masih dianggap tabu, dalam masyarakat Tendi dan Dita.

Lima bulan berlalu ketika di suatu sore Tendi duduk-duduk di beranda sambil menghirup aroma kopi arabica. “Ada perubahan di matanya,” cetus Tendi kepada istrinya sambil mengalihkan ekor matanya ke arah Dita yang sedang menyapu. Dita mengalami perubahan secara fisik, ia terlihat kurang bergairah, kulitnya kusam dan agak kurusan. Istri Tendi hanya berkilah,”barangkali ia sedang haid, saya pikir sebentar lagi ia akan sehat-sehat lagi”, meskipun sebenarnya ia mengiakan pendapat suaminya. Ternyata, di luar pengetahuan kedua orang ini, para tetangga mempergunjingkan lika-liku si Dita, terutama soal relasi khususnya dengan seorang lelaki yang tinggal seperlempar batu dari rumah mereka.
Tendi dan istrinya baru terhenyak ketika suatu malam lelaki itu datang menyerang rumah mereka dengan dua bilah parang di tangan. Lelaki itu mengamuk, memasuki kamar Dita, memporak-porandakan isinya lalu menghilang. Untung, Tendi dan istrinya sedang keluar, sementara Dita sendiri sudah mencium gelagat lebih dahulu sehingga ia sudah bersembunyi di rumah tetangganya satu jam sebelumnya.

Di hadapan Polisi, lelaki itu mengaku kalau penyerangannya merupakan pelampiasan kemarahannya atas SMS-SMS si Dita terhadapnya dalam satu minggu terakhir. Dalam salah satu dari SMS-SMS itu, Dita mengatakan bahwa ia akan menggugurkan janin yang ia kandung. Ternyata lelaki itu adalah pacarnya, pacar yang relasi antara mereka dibangun sejak Dita memperopeh HP hadiah itu.
Karena lelaki itu hanya berselang beberapa rumah, ia tidak pernah berterus terang menceritakan tentang lelaki itu kepada Tendi maupun istrinya. Tetangga-tetangga pun tidak menceritakannya karena tidak ingin terlibat dalam masalah di kemudian hari, sebab lelaki itu sesungguhnya telah memiliki istri dengan dua orang anak.

Dari balik jeruji tahanan polisi, lelaki itu mengakui kalau ia memang mencintai Dita dan berniat bertanggung jawab atas perbuatannya. Akhirnya, demi cinta pada Dita dan demi janin yang dikandung Dita, Tendi dan istrinya menarik tuntutan.

Sekarang Dita hidup bersama lelaki itu dengan anak mereka. Mereka ditolak dari segala arah. Mereka terus berada di persimpangan, entah mau ke mana. Sementara Tendi dan istrinya, masih terus didera oleh rasa bersalah, bersalah karena telah memberi hadiah yang mencelakakan itu.


Kupang, 28 April 2009
Sambil menantikan Putraku

Obsesi

Sejalan dengan amanat Undang-Undang Sisdiknas dan Undang-Undang tentang Guru dan Dosen, khususnya pada hal-hal yang berkaitan dengan kompetensi guru, eksistensi wadah-wadah profesi guru seperti KKG dan MGMP menjadi sangat penting.

Para guru hendaknya sadar benar bahwa kelompok profesi ini penting, selain untuk saling belajar - berbagi pengalaman dan pengetahuan, juga sekaligus sebagai wadah yang dapat mendorong dirinya untuk makin maju dalam karir jabatan dan kepangkatan.

Kita sepertinya tidak melihatnya sebagai masalah ketika banyak di antara kita mati kepangkatannya pada gol IV/a, bertahun-tahun pada gol IV/a, -bahkan melewati enam tahun pada gol ini dan tetap saja menjadi guru- kenyataan yang menyimpang secara yuridis.

Banyak pula di antara kita yang pasrah saja, barangkali ada yang celetuk "wah, menthok di IV/a itu bukan masalah, toh bukan cuma saya seorang....." Kita pasrah, seakan-akan aturan telah dibuat untuk mengikat kita pada golongan ini. Padahal, masalahnya karena kita tidak merasa bahwa pengembangan diri dan pengembangan kompetensi adalah sebuah kewajiban juga. Setiap kita wajib meng-update diri, seiring dan selaras dengan majunya ilmu pengetahun dan teknologi.

Di sisi lain, kita para guru sepertinya menunggu kapan aturan atau kebijakan baru dibuat, atau siapa yang suatu waktu akan membantu mengembangkan karir kepangkatan kita. Kita menunggu, dan menunggu.........., selama tak ada orang atau kelompok yang mempersoalkan kebekuan di IV/a itu tidak masalah. Tuntutan akan adanya karya tulis ilmiah terasa masih kita lihat hanya sebagai sebuah syarat sekunder, dan bukan sebuah kewajiban.

Barangkali kita perlu disadarkan dengan sikap tegas pembuat keputusan dan kebijakan, atau dengan teriakan-teriakan kelompok-kelompok pemuda, mahasiswa dan masyarakat, bahwa kebertahanan di gol IV/a adalah sebuah penyimpangan terhadap hukum.
Kalau kita mau fair, kita para Guru yang tidak bisa meng-update diri, tidak pantas menjadi contoh. Kalau sudah lebih dari enam tahun dan tetap di golongan IV/a, kita bukanlah contoh yang baik bagi para Guru dengan golongan di bawahnya, sepatutnya tidak perlu diberikan ataupun dipertahankan dalam jabatan-jabatan tertentu seperti Kepala Sekolah, atau Pengawas, maupun dipromosikan ke dalam jabatan struktural lainnya.

Dengan perspektif ini, saya mengajak kalangan praktisi pendidikan, mari kita membuat tulisan-tulisan, tuangkan ide-ide kita dalam bentuk cetakan, biar makin banyak orang merasakan manfaat dari kompetensi dan talenta kita.

Manfaatkan wadah-wadah KKG maupun MGMP untuk saling belajar, saling mengisi dan melengkapi kekurangan-kekurangan, saling berbagi talenta, dan terus membangun relasi; dan jadikan wadah ini sebagai wadah untuk belajar sambil berbuat tentang tulisan-tulisan ilmiah kita.

Tentu saja, kita baru benar-benar menjadi Profesional, manakala kita disebut orang Profesor. Ayo buruan.......

happy2getU

hallo........nice to join with in this blogspot. Hope to get all the positive......