Jumat, 10 September 2010

Spiritualitas Katekis


RENUNGAN
Pendengar: Rekan-Rekan Guru Agama Katolik


Referensi Biblis: Yoh 8:1-11

Oleh: Gerard Gaga, S.Ag, S.Pd, M.Pd

Guru SMA Negeri 1 Kupang Timur, Kementerian Agama Kab.Kupang, NTT


Perempuan yang berzinah (Yoh 8:1-11)

1tetapi Yesus pergi ke bukit Zaitun.
2Pagi-pagi benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia duduk dan mengajar mereka.
3Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah.
4Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: "Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah.
5Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?"
6Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah.
7Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Iapun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu."
8Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah.
9Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya.
10Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?"
11Jawabnya: "Tidak ada, Tuhan." Lalu kata Yesus: "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."


Judul Renungan:
KECERDASAN KATEKETIS,BELAJAR DARI CERITA TENTANG PEREMPUAN YANG BERZINAH – INSPIRASI SANG GURU UNTUK PARA GURU
[GAYA KONTEMPORER]

Pengantar

Ketika merenungkan cerita tentang “Perempuan yang berzinah” dalam Yoh 8:1-11, saya tertegun akan kepiawaian Yesus dalam menghadapi masalah, bahwa apa yang oleh para musuh Yesus merupakan taktik untuk menjegal Yesus, justeru menjadi sebuah model/strategi pewartaan Injil.
Saya akhirnya sampai pada sebuah simpulan bahwa ini merupakan sebuah referensi alkitabiah yang indah, cermin dan inspirasi bagi katekis dalam menjawabi panggilan Kristus sang Guru Ilahi, dan dalam melaksanakan misi perutusanNya. Juga menjadi sebuah model/pendekatan yang unggul dalam pembelajaran pendidikan agama.

Kita menyadari, dunia kita terus berubah. Di satu sisi dunia makin maju dengan teknologi dan ilmu pengetahuan; namun, di sisi lain tatanan susila dan moralitas masyarakat mengalami kemunduran. Masyarakat manusia mengalami pergeseran budaya. Nilai-nilai kultur menjadi makin kabur, ciri khas masyarakat yang madanis berganti menjadi sekularis, hedonis, pragmatis, dan materialistis.
Manusia mengabaikan tujuan hidupnya yang hakiki. Kebermaknaan hidup kehilangan perhatian pada manusia - insan yang mengalami hidup itu sendiri.

Fenomena pendidikan kita

Dalam lingkungan pendidikan medan karya perutusan kita, kita menemukan, melihat, menghadapi persoalan-persoalan yang tidak sedikit dan tidak ringan. Output dan otcome yang kerdil dengan bobot yang tidak memenuhi harapan masyarakat dunia, angka lulusan yang kecil, manipulasi-manipulasi dalam penyelenggaraan ujian, sistem manajemen pendidikan yang tidak kontinual dan tidak koheren. Selain itu kita juga berhadapan dengan masasalah-masalah siswa: tawuran, meminum minuman keras, narkoba; ketidakdisiplinan dalam belajar dan dalam mengerjakan tugas-tugas; kebiasaan sering terlambat, bolos dan absen; perbuatan tak senonoh dan berbagai kemerosotan akhlak lainnya.
Singkatnya, kita berhadapan dengan persoalan yang kompleks, tidak saja berkaitan dengan pihak siswa/siswi, tetapi juga berkaitan dengan pihak guru, lingkungan, manajemen, serta sistemnya.

Fenomena seputar dunia pendidikan ini mengindikasikan para pelaku pendidikan, termasuk kita para guru agama belum berhasil mengantarkan para peserta didik kita kepada hidup seturut ajaran sang Guru. Kita belum benar-benar menampakkan peran sebagai ragi dan garam yang benar seperti yang dikehendaki-Nya.
Apa sikap kita sebagai seorang guru agama, katekis, pelaku pendidikan itu sendiri? Apakah kehadiran kita di dunia ini khususnya di medan tugas kita yang oleh Sang Guru hendaknya menjadi seperti ragi yang mengkhamirkan roti, dan ibarat garam yang mengawetkan makanan dan mengenakkan masakan sungguh berdampak pada perbaikan kualitas pendidikan secara keseluruhan, dan anak didik kita pada khususnya?
Dalam kaitan ini kita perlu berintrospeksi, apakah metode, pola pembelajaran yang kita pakai, kita anuti dan terapkan dalam pembelajaran dan dalam sosialisasi kita dalam komunitas sekolah sudah tepat atau tidak?

Menimba dari Alkitab

Baiklah kita belajar dari alkitab. Cerita alkitabiah tentang “perempuan yang berzinah” (Yoh 8:1-11) memberikan banyak inspirasi bagi kita dalam melaksanakan misi pendidikan kita, boleh dibilang merupakan suatu model/pendekatan dalam pembelajaran.

Apa yang dapat kita dalami dan kita adopsi dari pengalaman alkitabiah ini?
Terdapat lima hal.
Pertama: Cerdas. Cerdas akan ajaran. Yesus cerdas menilai masalah, cerdas pula menafsirkan hukum dan peraturan. Hal ini nyata dalam tanggapannya menghadapi pertautan antara hukum cinta kasih yang Ia sendiri ajarkan dengan hukum Taurat yang Ia dan komunitasNya anuti. Ia hadapi masalah itu dengan sabar dan cerdas, laksana mampu menghadapi simalakama. Makan, tidak; tidak makan juga tidak. Ia tidak menampikkan hukum Taurat di satu sisi, di sisi lain Ia komit dan konsisten dengan hukum yang Ia letakkan dan Ia garisbawahi “Cintakasih”. Di sini dituntut kecerdasan intelektual.
Seorang guru agama, harus cerdas seperti guruNya. Tanpa menampikkan aturan yang berlaku, hukum Cintakasih harus nyata dan hidup di lingkungan komunitasnya. Hukum dan aturan adalah untuk manusia, dan bukan manusia untuk hukum. Aturan dan perundang-undangan harus dijaga dan ditegakkan, tetapi cintakasih tidaklah diabaikan.
Teruslah belajar agar tetap cerdas, dan semakin cerdas, sebab Anda pun Saya adalah manusia yang secara kodrati adalah makluk yang selalu mencari makna.

Ke-dua: Menerima masalah sebagai kesempatan. Bahwa meskipun kita mampu menyelesaikan satu-dua masalah, masalah baru pasti akan muncul. Hadapi masalah dengan sikap ugahari. Seperti Tuhan, kitapun hendaknya menerima masalah sebagai kesempatan untuk menyatakan keagungan dan kemuliaan Tuhan. Bercerminlah pada Sang Guru yang tidak menganggap perempuan yang berzinah sebagai beban, tetapi malah sebagai kesempatan untuk mempertobatkan perempuan itu, dan sekaligus sebagai kesempatan untuk membangun kesadaran baru pada diri mereka yang suka memanipulasi masalah demi kepentingan dirinya.
Masalah menjadi alat dan kesempatan kepada pertobatan. Di sini juga dibutuhkan kecerdasan untuk menjadikan masalah sebagai peluang mengajak orang meninggalkan dunia gelap, dan menariknya ke jalan-jalan Tuhan.
"Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” - untaian kata-kata bertuah yang sanggup membebaskan perempuan yang berdosa dari hukuman dan maut, sekaligus kata-kata bertuah yang mampu membangun kesadaran baru bagi mereka yang suka memandang rendah orang lain, mereka yang mementingkan status-quo, dan suka memutarbalikkan hukum.

Ke-tiga: Menjadi orang tertua. Menjadi yang tertua berarti menjadi yang pertama bertobat. Sekaligus menjadi yang pertama sadar, yang pertama mempengaruhi orang lain untuk insaf dan bertobat.
Menjadi yang tertua juga berarti menjadi yang pertama berbalik. Karena sadar lebih tua,lebih lama hidup, lebih banyak dosanya. Lebih tua, tidak saja berarti lebih dahulu dan lebih lama hidup, tetapi juga berarti lebih banyak ilmunya, lebih kaya informasinya, lebih bijak cara berpikirnya, lebih luas wawasannya.
Sebagai guru agama, kita dipandang sebagai orang-orang unggul dalam komunitas kita, paling tidak kita dipandang unggul dalam iman dan moral.
Menjadi orang yang tua berarti menjadi teladan bagi yang muda. Guru Agama hendaknya menjadi teladan bagi semua rekan guru di lingkungannya, dan sebagai cermin bagi para siswa dalam bersikap. Tidak berlebihan, karena menjadi guru agama adalah menjadi alter Christi, menampakkan wajah Kristus dalam dunia ril.

Ke-empat: Rendah hati. Kita dapat belajar kerendahan hati dari sikap Yesus. Yesus menanggapi pertanyaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi dengan jawaban reflektif dalam tutur kata yang beradab, serta kemudian dengan sikap membungkuk dan menulis di tanah. Ungkapan sikap rendah hati.
Membangun kesadaran orang-orang tidak dengan kata-kata yang mematikan, atau mempermalukan, atau dengan menguraikan kesalahan dan dosa-dosa mereka, tetapi dengan sikap rendah hati, biar orang berdosa menemukan sendiri makna dari kata-kata bertuahNya, membiarkan mereka menghakimi dirinya sendiri dahulu sebelum menghakimi orang lain.
Usaha mempertobatkan orang-orang memerlukan sikap rendah hati. Keteladanan tidak saja karena kita adalah tokoh, tetapi juga harus dibarengi dengan sikap rendah hati. Membungkuk, sikap orang miskin, sikap menghormati, ungkapan rasa bahwa orang lain pantas dihormati. Para guru agama hendaknya bersikap rendah hati, menampakkan sikap si miskin, biar para siswa dan komunitasnya bisa belajar dan bercermin. “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga” (Mat 5:3).

Ke-lima: Hidup Baru. "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang." Sebuah perutusan, misi baru diberikan oleh Yesus, misi yang dihadiahi lebih dahulu dengan kemerdekaan personal.
Misi hidup baru ini merupakan upah yang harus dibayar atas pengampunan. Ini boleh dilihat sebagai sanksi, sebuah sanksi edukatif. Perempuan itu diberi sanksi, ia harus membayar upah pengampunan dan pembelaan Yesus dengan hidup baru. Pergilah kepada hidup baru, tinggalkanlah yang lalu. Aku melepaskan kamu dari segala hukuman yang semestinya kau tebus dengan nyawamu sendiri, tetapi bayarannya adalah dengan pertobatan yang radikal.
Para guru agama hendaknya belajar dari solusi akhir yang diberikan dan ditawarkan Yesus, mengembalikan orang kepada jalan yang benar adalah tidak dengan memberikan sanksi dan hukuman fisik dan materil, tetapi justeru dengan penghargaan personal, biar mereka yang bermasalah bisa sadar dan pada gilirannya mengubah perilakunya secara radikal. Pertobatan harus diwujudkan dengan meninggalkan pola hidup lama secara radikal, dan masuk kepada model hidup baru, hidup yang dikehendaki Tuhan.

Katekis sebagai Alter Christi

Kehadiran kita para katekis dalam komunitas sekolah dan masyarakat hendaknya menjadi sosok solusi pemecah masalah. Kita hendaknya sadar bahwa kita dipanggil dan dipilih, bukan karena kebetulan atau karena kesulitan dan tantangan, tetapi karena Tuhan menghendakiNya. Menghadapi persoalan-persoalan berkaitan dengan dunia profesi kita, baiklah kita bercermin pada lima langkah kateketis yang diinspirasikan oleh cerita alktabiah tadi.
Perempuan berzinah, kita jumpai dalam komunitas kita setiap saat, dalam diri rekan-rekan guru, para siswa, para orangtua siswa, dan semua komunitas sekolah. Mereka butuh pembelaan Tuhan untuk berpihak pada mereka, agar dunia ini sungguh bagi mereka menjadi medan hidup baru yang menjanjikan sukacita, damai dan keselamatan.
Sebagai alter-christi, mari kita tampil di hadapan mereka dengan rendah hati, bijaksana dan cerdas, bawa mereka menuju hidup baru yang disediakan Allah.Semoga

senja di batakte

 
Posted by Picasa